TAK SELAMANYA HIDUP ITU INDAH
Oleh : Etrin Norda .V
Di pagi yang cerah, seperti biasa Sasya keluar dari halaman depan rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Dia berjalan kaki menuju gang depan rumahnya, disana dia segera naik ke dalam angkutan umum yang telah lama menunggunya. Sebelum angkutan umum berjalan, terdengar teriakan dari luar yang ditujukan ke dalam angkutan.
“Sasya, Sasya!” suara teriakannya.
Mendengar suara teriakan tersebut, Sasya segera menyuruh sopir angkutan untuk menjalankan angkutannya dan tidak menghiraukan teriakan tersebut. Angkutannya pun berjalan meninggalkan suara teriakan tersebut dan berjalan menuju SMU
tempat Sasya sekolah. Setelah kurang lebih 15 menit diperjalanan, akhirnya sampai di depan sekolah Sasya. Dan Sasya segera membayar ongkos angkutan lalu turun menuju depan sekolah, dari belakang Sasya terdengar ada yang memanggilnya.
“Sasya tunggu!” teriaknya.
Sasya pun membalikkan badannya dan betapa kagetnya Sasya, ketika mengetahui siapa yang telah memanggilnya. Sasya melihat sahabat lamanya berlari menghampirinya lalu memeluknya dengan sangat erat sambil meneteskan air mata.
“Rara!” kata Sasya kaget.
“Sasya, bagaimana kabar kamu? Aku kangen sekali dengan kamu, sudah lama kita tidak bertemu.” kata Rara dengan masih memeluk erat tubuh Sasya.
Sasya memegang tangan Rara agar mau melepaskan pelukannya. “Rara, aku baik-baik saja. Aku juga kangen sekali dengan kamu. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?” tanya Sasya.
“Aku juga baik-baik saja, Sya” jawab Rara sambil melepaskan pelukannya.
“Eh, kamu ada perlu apa kesini? jauh-jauh dari Sumatera ke Jakarta hanya untuk bertemu denganku. Ya Allah, kamu baik sekali, kamu memang sahabatku yang paling baik.” tanya Sasya heran.
“Eh, jangan ge-er dulu ya, Sya. Kamu belum tahu ya, kalau mau ada siswa baru sekolah di SMU ini. Wah, ketinggalan kabar banget ya kamu?”
“Belum tahu, lalu apa hubungannya dengan kamu?”
“Waduh Sya, lihat nih aku pakai seragam apa?”
Sasya melihat penampilan Rara dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan Sasya pun kaget bercampur senang. “Ra, kamu pakai seragam SMU aku, jadi kamu adalah siswa baru itu ya?”
“Ya, benar sekali.”
“Jadi kita sekarang satu sekolah, Ra. Tapi kamu di Jakarta tinggal bersama siapa?”
“Aku tetap tinggal dengan orang tuaku, papa aku pindah kerja ke Jakarta. Jadi mama dan aku harus ikut dengan papa, untungnya di Jakarta, aku juga bisa bertemu dengan kamu lagi.”
“Oh, begitu ya. Berarti kita bisa main bersama-sama lagi seperti waktu di Sumatera ya?”
“Iya!”
Karena begitu asyiknya berbincang-bincang, tidak terasa bel masuk sekolah pun berbunyi. Sasya dan Rara pun bersama masuk ke dalam sekolah, di dalam sekolah mereka harus berpisah karena kelas mereka berbeda. Sasya lebih memilih masuk di jurusan IPA, sedangkan Rara lebih mengutamakan keinginan orang tuanya untuk masuk ke jurusan IPS agar nanti dapat meneruskan perusahaan papanya.
Setelah 3 jam memperoleh pelajaran, bel istirahat pun berbunyi. Para siswa pun bergegas keluar kelas menuju kantin sekolah. Begitu juga dengan kedua sahabat ini. Sasya dan Rara. Di kantin mereka kembali melanjutkan perbincangan mereka yang belum selesai tadi pagi.
“Sya, kamu dulu waktu kembali ke Jakarta, kenapa tidak pamit ke aku dulu?”
“Ma’af Ra, aku tidak sempat karena hari itu juga pesawatku berangkat ke Jakarta. Tapi aku kan sudah kirim email untuk kamu Ra!”
“Iya juga, tapi kan kamu tidak sempat mengucapkan salam perpisahan langsung di depanku.”
“Ya sekali liga aku minta ma’af Ra. Mau ya ma”afin aku?”
“Iya, iya, Sya. Aku ma’afin deh.”
“Gitu donk, Ra. Kamu memang sahabat yang is the best.”
“Huh, kalau ada maunya saja bilang begitu.”
“Ya dong, eh kita sudah lama ya tidak bercanda seperti ini?”
“Iya, benar juga. Eh Sya, bagaimana kabar kedua orang tua kamu?”
“Hem, papa dan mamaku kabarnya baik-baik saja. Kalau orang tua kamu?”
“Papa kemarin sempat di rawat di Rumah Sakit karena penyakit maagnya kambuh, tapi sekarang sudah baikan begitu juga dengan mama.”
“Aku doakan semoga cepat sembuh ya Ra!”
“Iya, terima kasih Sya.”
“Iya, sama-sama. Eh kamu sekarang tinggal dimana Ra?”
“Aku tinggal di perumahan Kartini no.32. Kpan-kapan kamu main ke rumahku ya! Lalu kamu tinggal dimana?”
“Aku tinggal di perumahan Losari No. 16. Sebelumnya aku selalu pindah-pindah tempat tinggal.”
“Kenapa?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Eh, tadi pagi aku lihat kamu berangkat sekolah naik angkutan umum. Kenapa tidak diantar dengan mobilmu sendiri?”
“Males, enak naik angkutan umum. Lebih seru.”
Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi dan tepat pukul 13.00 WIB bel pulang berbunyi. Di depan halaman sekolah, Sasya dan Rara bertemu.
“Ra, main ke rumahku yuk!”
“Boleh, aku juga masih ingin lebih lama bersama kamu!”
“Tapi, naik angkutan umum saja ya!”
“Haduh Sya, naik taxi saja ya!”
“Hem, ya sudah tidak apa. Kita jalan ke tepi jalan raya untuk mencari taxi.”
“Iya, yuk!”
Mereka pun berjalan ke tepi jalan raya untuk mencari taxi, setelah sampai disana, tiba-tiba angkutan umum langganan Sasya datang menghampiri mereka. Dari dalam angkutan, terdengar suara sopir angkutan memanggil Sasya.
“Sya, ayo naik!” kata sopir tersebut.
“Tidak, Raf. Aku naik taxi saja.” jawab Sasya.
“Kenapa naik taxi, kamu kan tidak suka naik taxi. Kata kamu lebih seru naik angkutan umum seperti biasanya?”
“Raffi, aku akan tetap naik angkutan kamu seperti biasa kok, tapi sekarang tidak bisa karena sahabatku ini mau naik taxi.”
“Oh begitu ya, ya sudah kalau begitu, aku mau kerja lagi. Kalau mau naik angkutanku lagi, aku tunggu di tempat biasanya ya!”
“Iya, beres Raf. Eh setelah kamu kerja nanti, aku ke rumah kamu ya! Aku ada tugas yang tidak aku mengerti!”
“Oke Sya. Datang saja, nanti aku pulang agak sore.”
“Ya sudah, sampai jumpa nanti sore ya Raf.”
Angkutan itu pun pergi meninggalkan Sasya dan juga Rara. Setelah mendengar percakapan Sasya dengan sopir angkutan itu, Rara pun ingin mengetahui hubungan mereka, karena dari percakapan mereka tadi begitu akrab. Ketika Rara mulai bertanya kepada Sasya, sebuah taxi datang menghampiri mereka berdua, dan mereka pun naik ke dalam taxi. Di dalam taxi, Rara melanjutkan pertanyaannya kepada Sasya.
“Sya, sopir angkutan tadi siapa kamu?” tanya Rara.
“Tadi itu, teman aku. Dia tinggal di gang belakang rumahku.” Jawab Sasya.
“Ih, kamu kan anak orang kaya, kenapa berteman dengan sopir angkutan. Haduh kamu harus tahu diri dong, dia bukan level kamu, dia tidak pantas jadi teman kamu!”
“Rara, kalau cari teman itu tidak perlu pilih-pilih kaya atau miskinnya, tapi baik atau tidaknya orang itu.”
“Ah, kamu Sya. Terserah kamu deh. Eh tadi kamu minta bantu untuk mengerjakan tugas ke dia, memang dia bisa, dia kan tidak berpendidikan?”
“Eh jaga bicaramu, Ra. Dia tadi mahasiswa UI jurusan Biologi. Karena aku kurang bisa mengerti Biologi, jadi aku minta tolong ke dia.”
“Oh, begitu ya. Mungkin hanya kebetulan saja ya dia bisa masuk di UI!”
“Eh, jangan salah loh, dia itu pandai dan rajin.”
“Ya sudahlah, terserah kamu.”
Setelah beberapa menit di perjalanan, akhirnya mereka pun sampai di rumah Sasya. Sasya membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan Rara untuk masuk, lalu Sasya segera mengajak Rara ke kamarnya yang berada di lantai atas. Dalam perjalanan ke kamar Sasya, Rara mengamati keadaan rumah Sasya dan tidak mendapati seorang pun ada didalam rumah. Begitu sampai di kamar Sasya, Sasya segera berganti pakaian dan menawarkan Rara untuk berganti pakaian dengan pakaian miliknya, lalu Rara pun menerimanya. Selesai berganti pakaian, Rara mengemukakan rasa penasarannya kepada Sasya.
“Sya, benar kamu tingal dengan orang tua kamu?” tanya Rara dengan penasaran.
“Iya, benar kok.” jawab Sasya tenang.
“Tapi kenapa aku tidak melihat seorang pun ada didalam rumah?”
“Oh, jadi itu alasannya kamu menanyakan pertanyaan tadi.”
“Iya, aku heran. Rumah kamu besar tapi hanya kamu yang menghuninya.”
“Itu sudah biasa, papa dan mamaku sekarang sedang peri ke luar kota. Dan yang ada di rumah hanya aku, pembantu dan sopir saja, tapi selama papa dan mama tidak ada, aku suruh mereka pulang saja. Lagi pula terlalu berlebihan jika mereka hanya melayani seorang gadis 17 tahun.”
“Haduh, Sya. Kamu ini selalu suka yang ribet-ribet deh. Enak lah kalau ada pelayannya. ”
“Tetep gak enak deh!. Eh aku lapar, makan yuk! Aku buatin nasi goreng.”
“Apa? Nasi Goreng! Gak deh Sya, aku alergi nanti bisa batuk-batuk kalau habis makan. Kita cari makan di luar saja ya? Please demi sahabat kamu ini.”
“Ya sudah deh, ayuk!”
Sasya pun segera mengambil dompet dan tasnya, lalu mereka segera pergi ke luar rumah. Sesampainya di depan rumah, Sasya mengunci pintu rumahnya. Rara yang melihat ada sebuah mobil di garasidepan rumah Sasya, segera bertanya kepada Sasya.
“Sya, kita naik mobil ya! Kamu kan bisa menyetir mobil sendiri.”
“Aku malas, Ra. Kita jalan kaki saja, lagi pula ada restoran dekat perumahan kok.”
“Ah Sasya, gak asyik.”
“Kamu mau menyetirnya ta?”
“Aku kan tidak bisa menyetir mobil, Sya. Ya sudah deh, ayo berangkat, aku sudah lapar berat nih.”
“Iya, ayuk!”
Mereka pun berjalan kaki ke restoran di seberang jalan raya depan perumahan rumah Sasya. Begitu sampai di restoran, Rara memesan berbagai macam menu yang mahal, sedangkan Sasya hanya memesan menu nasi goreng saja. Meski Rara mengetahuinya, tapi Rara tidak memperdulikannya. Selesai makan, Rara berpamitan kepada Sasya untuk pulang.
“Sya, aku pulang ya!”
“Aku antar ya!”
“Gak usah deh Sya, nanti malah kamu antar pakai angkutan umum. Aku naik taxi saja, sudah dulu ya Sya, sampai jumpa besok di sekolah.”
“Iya, sampai jumpa juga. Hati-hati di jalan ya!”
Tidak lama kemudian ada taxi dan Rara pun memanggil taxi tersebut, lalu naik ke dalam taxi. Sebelum taxinya berjalan, Rara melambaikan tangannya kepada Sasya dan Sasya pun membalas lambaian tangan Rara sambil tersenyum. Taxinya pun berjalan meninggalkan Sasya. Kemudian Sasya berjalan pulang menuju rumahnya. Di tengah perjalanan Sasya bertemu dengan sopir pribadi rumahnya.
“Eh, pak Min, mau kemana sore-sore begini?” tanya Sasya.
“Haduh non, saya khawatir dengan keadaan non. Tadi saya baru dari rumah, tapi tutup dan saya lihat non baru keluar dari restoran seberang jalan raya, jadi saya menghampiri non. Non, tidak kenapa-kenapa kan? Baik-baik saja kan?”
“Iya, pak. Saya baik-baik saja. Bapak jangan terlalu khawatir dengan keadaan saya, Insyaalloh saya akan baik-baik saja. Setelah ini saya mau ke rumah Raffi untuk mengerjakan tugas, jadi saya tidak ada di rumah.”
“Oh, iya non, kalau sudah tahu keadaan non, kan hati saya jadi lebih tenang. Ya sudah kalau begitu saya pulang dulu ya non!.”
“Iya pak, hati-hati”
Sebelum sopir Sasya pergi, dia mengatakan sesuatu kepada Sasya. “Eh non, tadi pagi saya panggil-panggil dari luar angkutan kenapa tidak menjawab. Padahal tadi mobilnya sudah saya siapkan untuk non tapi kenapa malah naik angkutan umum?’ tanyanya.
“Oh, itu tadi bapak yang yang manggil saya, saya memang sengaja tidak menjawab panggilang Pak Min karena saya tahu kalau bapak pasti mengajak saya berangkat sekolah dengan mobil. Saya tidak begitu suka kalau pergi dengan mobil, lebih enak naik angkutan umum, rame-rame jadi lebih seru. Sudah dulu ya pak, sudah sore saya mau ke rumahnya Raffi!”
“Ya sudah non, kalau ada perlu apa-apa, non bilang ke saya ya!”
“Iya pak, terima kasih.”
Mereka pun berpisah dan Sasya segera pulang ke rumah. Tiba di rumah, Sasya segera mandi dan berganti pakaian lalu menyiapkan seegala peralatan yang diperlukan untuk mengerjakan tugas. Setelah semuanya beres, Sasya pun segera pergi ke rumah Raffi dengan berjalan kaki. Sesampainya di rumah Raffi, Sasya langsung dipersilahkan masuk oleh orang tua Raffi.
“Eh mbak Sasya, mau bertemu Raffi ya! Silahkan masuk mbak!”
“Iya, bu.”
“Mbak, duduk dulu ya, saya panggilkan Raffi.”
“Iya, bu.”
“Mbak ini, dari tadi iya-iya. Mau minum apa mbak?”
“Tidak usah bu. Tadi saya sudah banyak minum di rumah.”
“Ah mbak ngarang. Orang tuanya mbak kan sedang keluar, Mbok Nah dan Pak Min juga mbak suruh pulang. Mana ada yang masakin mbak, sudah saya buatkan es cincau saja, hanya minuman kok.”
“Iya bu, terima kasih.”
Setelah orang tua Raffi masuk ke dalam rumah, Raffi pun keluar dari dalam rumah dengan memabwa banyak buku Biologi.
“Sudah datang, Sya. Ayo kita mulai belajarnya!“ ajak Raffi.
“Tunggu sebentar deh, Raf. Aku sedang menunggu es cincau buatan ibu kamu, beliau kalau buat es cincau kan enah banget kalah deh minuman-minuman di restoran.”
“Ah, gitu saja tadi pura-pura gak mau. Biasa saja gitu, Sya. Kamu kan sudah sering ke rumahku.”
Dari dalam rumah, ibu Raffi mendengar percakapan mereka. Dan segera keluar dengan membawa dua mngkuk berisi penuh es cincau.
“Mbak Sasya, tidak perlu malu-malu lagi. Mbak kan sudah saya anggap anak sendiri. Kalau mau nambah es cincau bilang ke ibu saja, nanti saya buatkan dengan senang hati.” Sahutnya.
“Iya bu, terima kasih’
Ibu Raffi pun pergi meninggalkan mereka berdua, karea tidak tahan melihat godaan es cincau tersebut, Sasya segera menghabiskan minumannya hingga semangkuk bersih. Melihat Sasya yang begitu rakus meminum, Raffi pun hanya menggeleng-gelengkan kepala. Selesai menghabiskan minumannya, Sasya mengajak Raffi untuk segera membantu mengerjakan tugasnya. Di tengah belajar mereka, Sasya yang begitu dekat dengan Raffi hingga menganggap Raffi seperti kakaknya sendiri selalu mencurahkan keluh kesah isi hatinya kepada Raffi dan Raffi pun dengan senang hati mendengarkannya.
“Raf, beberapa bulan ini, aku semakin gak betah tinggal di rumah!”
“Kenapa Sya?”
“Papa dan mama jadi sering pergi ke luar kota untuk mengurus bisnis mereka masing-masing, mereka juga kurang memperhatikan aku. Apalagi dua bulan terakhir ini, mereka lebih sering bertengkar jika berada di rumah, bahkan mereka tidak saling memperdulikan lagi dan yang lebih parah, tempat tidur mereka pun sudah tidak sekamar lagi.” Tutur Sasya panjang.
“Mungkin orang tua kamu terlalu sibuk dengan masalah mereka masing-masing, sehingga masalah tersebut terbawa ke dalam rumah tangga mereka.”
“Tapi Raf, aku jadi gak betah di rumah, aku seperti tidak ada bagi mereka, aku juga tidak merasa jika memiliki orang tua. Jujur Raf, aku tertekan, rasanya aku ingin sendiri dan jauh dari kehidupan mereka.”
“Sya, kamu tidak boleh seperti ini, kamu harus kuat, aku yakin kamu pasti bisa melewati semua ini, tak selamanya hidup itu indah, ini semua adalah sebuah ujian yang harus kamu lewati.”
“Aku gak yakin Raf, aku terlalu rapuh untuk ini. Kemarin saja waktu aku juara MIPA, papa dan mama tidak datang di acara penghargaan itu. Padahal itu sangat berarti bagi aku, tapi mereka malah sibuk dengan harta mereka, papa yang kerjanya hanya mengurus perusahaan advertisingnya saja dan mama yang hanya memperdulikan perdagangan berliannya. Mereka tidak pernah ada waktu untuk aku.”
“Kamu yang sabar, Sya. Kuatkan hatimu, Sasya yang aku kenal tidak serapuh ini. Aku ingin Sasya yang dulu, yang selalu ceria, bersemangat dan lapang dada.”
“Aku tak tahu, yang aku inginkan sekarang hanya ketenangan dan ketenangan.”
Sasya pun bergegas merapikan peralatannya dari meja ruang tamu Raffi, segera Sasya berpamitan kepada Raffi dan orang tuanya untuk pulang. Sampai di depan halaman rumah, Sasya pun berlari ke dalam rumah dan melihat dua mobil baru terparkir di halaman rumahnya., Sasya pun berlari ke dalam rumah dan berharap kedua orang tuanya berada di sofa untuk menunggunya seperti yang Sasya bayangkan. Tiba-tiba saja Sasya mendengar suara kedua orang tuanya yang berteriak-teriak di dalam kamar mereka. Karena Sasya sudah tidak peduli dengan orang tuanya, dia pun membiarkan orang tuanya bertengkar sesuka hati mereka. Setelah sedikit mendengar pertengkaran orang tuanya, Sasya segera berlari ke dalam kamarnya. Tidak lama berada di dalam kamar, Sasya mendengar suara dengungan mobil dari halaman rumahnya, Sasya penasaran dan menengoknya dari jendela lanyai atas rumahnya, dan mendapati kedua mobil yang ada di halamannya tadi pergi keluar rumah.
“Pasti mereka mau mengurus urusan hartanya saja dibandingkan dengan mengurusi anaknya yang tidak penting bagi mereka.” ucap Sasya dalam hatinya.
Karena terlalu lelah dengan aktivitasnya seharian, Sasya pun tertidur lelap didalam kamarnya. Tepat larut malam, Sasya terbangun dari tidurnya karena dikagetkan oleh suara pecahan dari lantai bawah. Dikira pencuri, akhirnya Sasya pun memberanikan diri untuk melihat keadaan di lantai bawah, dan betapa kagetnya Sasya ketika mendapati pecahan guci berserakan diantara kedua orang tuanya berdiri. Melihat hal tersebut, Sasya pun hanya melihatnya dari lantai atas dan mendengarkan semua percakapan mereka saja tanpa memperdulikan keadaan mereka.
“Papa tidak tahu malu, sudah punya istri masih saja ada main dengan perempuan lain, anak ABG lagi. Dasar hidung belang.” papar mama Sasya.
“Mana ada buktinya? Seandainya benar juga terserah aku karena itu hakku. Daripada kamu yang kerjanya hanya ke diskotik dan mabuk-mabukan saja.” Elak papa Sasya.
“Lebih baik aku dari pada kamu, laki-laki hidung belang. Aku terlalu sering melihat kamu bersama ABG itu, kamu sampai rela membelikannya perhiasan hingga mobil.”
“Terserah aku dong, itu uang-uangku sendiri.”
“Dasar tidak punya malu.”
“Harusnya kamu yang malu dengan perbuatanmu yang lebih suka tidur dengan gigolo daripada dengan suaminya sendiri. Maka dari itu aku cari perempuan lain yang lebih bisa bahagiakan aku daripada denganmu, Rara lebih cantik, lebih muda dan lebih segalanya”
“Heh, jaga ucapanmu. Aku tak sebejad yang kau bilang. Akhirnya berani juga kamu menyebut nama perempuan tak tahu diri itu. Gadis umur 17 tahun yang masih SMU mana mungkin mau denganmu, paling dia hanya menginginkan hartamu. Buktinya belum-belum dia sudah meminta rumah di perumahan Kartini kan?”
“Kamu salah, dia tidak seperti kamu. Dia akan setia kepadaku dan akan selalu membahagiakanku tidak seperti kamu.”
“Oke kalau itu yang kamu mau, lebih baik kita berpisah saja. Aku tidak tahan punya laki-laki tak tau malu sepertimu!”
“Baik, kita cerai.”
Mendengar ucapan mamanya, Sasya pun kaget karena sahabatnya Rara tega mengkhianatinya dengan berhubungan dengan papanya. Sasya benar-benar kaget memndengar paparan kedua orang tuanya yang saling menjelek-jelekkan itu, Sasya tidak habis pikir, kenapa Sasya bisa punya orang tua sebejad mereka. Sasya yang sebelumnya hanya melihat pertengkaran orang tuanya dari lantai atas pun turun menghampiri kedua orangtuanya.
“Aku tidak habis pikir, ternyata itu yang kalian perbuat di belakangku. Aku malu punya orang tua seperti kalian.” teriak Sasya sambil menghampiri mereka.
Kedua orang tua Sasya yang mengetahui kedatangan Sasya menyuruhnya untuk pergi dan tidak ikut campur dengan urusan mereka.
“Jangan ikut campur kamu, bukan urusan kamu.” bentuk papa Sasya.
“Iya ini memang bukan urusan Sasya, karena Sasya bukan anak kalian kan? Kalian tidak pernah ada waktu untuk Sasya, yang kalian pikirkan hanya keegoisan kalian. Sasya bersyukur jika Sasya tidak bejat seperti kalian. Lebih baik Sasya tidak punya orang tua daripada punya orangtua tapi seperti kalian”. ucap Sasya sambil menangis.
Setelah mengucapkan perkataan terakhirnya, Sasya pun berlari meninggalkan orang tuanya dan pergi ke luar rumah sambil menangis, sekilas terdengar suara teriakan orang tuanya.
“Pergi sana, paling-paling juga kalau butuh uang akan kembali lagi ke sini. Mana ada orang yang hidup tanpa uang.” teriak orang tua Sasya.
Mendengar perkataan orang tuanya itu, dari dalam hati Sasya berkata “Kenapa mereka hanya bisa mengukur harga diri seseorang dengan uang dan uang?” tanyanya dalam hati.
Sasya pun berlari kencang tak tentu arah, Raffi yang melihat Sasya berlari sambil menangis menuju jalan raya pun bnerusaha menghentikannya dengan memanggilnya.
“Sasya, Sasya....!”
Sasya yang mendengar suara teriakan seseorang memanggilnya pun menghentikan langkahnya dan membalikkan badanya, dan dilihatnya Raffi memanggil-manggil namanya berulangkali dengan keras. “Raffi.” ucap Sasya lirih
“Awas, Sya!” teriak Raffi
Sasya pun mencoba menghampiri Raffi, namun tiba-tiba cahaya terang mendekat dari sebelah kanan tubuhnya. Dia menengok ke arah kanan, dan betapa kagetnya Sasya ketika mendapati dirinya telah berada di tengah jalan raya dan melihat sebuah bus menghampirinya.
“Aaaah.............” teriaknya.
Brukk............
Suara teriakan, suara jeritan dan bunyi sirine ambulans yang terdengar oleh Sasya. Disampinynya terdengar suara seorang mengkhawatirkan keadaanya.
“Sasya bertahan, kamu pasti kuat. Aku akan selalu ada untuk kamu, selalu.”
Sasya pun segera segera dibawa ke rumah sakit dan Raffi selalu mendampinginya. Sampai di rumah sakit, Raffi pun memberitahukan keadaan Sasya kepada orang tuanya, dan tidak lama kemudian orang tua Sasya datang.
“Heh, gembel. Kamu pasti yang sudah mencelakakan anakku ya!” bentak papa Sasya kepada Raffi.
“Tidak pak, yang saya tahu tadi Sasya berlari kencang ke arah jalan raya hingga akhirnya ada bus yang menabrak tubuh Sasya” papar Raffi.
“Kamu bohong, pasti kamu yang mencelakakannya. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku akan membunuhmu.” ancam papa Sasya.
“Sudah sudah, kenapa sih dalam keadaan seperti ini justru bertengkar. Bagaimana kedaan Sasya sekarang?” lerai mama Sasya kemudian bertanya kepada Raffi.
“Saya juga belum tahu bu, karena Sasya juga masih di tangani dokter di IGD” jawab Raffi.
Hampir lebih dari 5 jam, mereka menunggu kabar tentang keadaan Sasya di depan pintu IGD, Raffi pun memberanikan diri untuk menceritakan segala keluhan Sasya tentang orang tuanya kepada orang tua Sasya. Meski awalnya orang tua Sasya marah dan tidak mau mendengarkan perkataan Raffi tapi akhirnya mereka pun mau mendengarkan cerita sekaligus nasihat dari Raffi. Orang tua Sasya pun sadar jika Sasya memang benar-benar membutuhkan mereka. Setelah berbicara panjang lebar, Raffi pun berdiri dan menengok ke arah jendela ruang IGD. Tiba-tiba seorang dokter keluar ke ruang IGD.
“Bagaimana keadaan Sasya, dokter ?” tanya Raffi.
“Bagaimana keadaan anak saya, dok ?” tanya orang tua Sasya.
“Hem, kecelakaan yang sangat hebat tadi membuat luka parah di tubuh gadis ini, dan lukanya terlalu parah untuk bisa ditangani. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun kami hanya bias pasrah. Sekarang keadaan gadis ini sedang kritis”, papar dokter tersebut.
“Saya akan bayar berapapun agar anak saya selamat. Saya mohon dok, selamatkan anak saya”, ucap papa Sasya sambil berlutut di kaki dokter tersebut.
Dokter tersebut pun meminta papa Sasya untuk berdiri dan berkata, “Hanya doa yang di butuhkan oleh anak bapak” ucap dokter tersebut sambil menepuk pundak Papa Sasya lalu pergi meninggalkannya.
Mendengar perkataan dokter tadi, Raffi dan kedua orang tua sangat sedih dan terpukul . mereka bertiga pun segera menuju ruang IGD untuk menemui Sasya.
“Sya ini mama nak,. Mama ada di sini”
“Iya Sya, ini juga papa. Maafkan papa dan mama ya atas perlakuan kami kepada Sasya. Kami berjanji akan lebih memperhatikan kamu anakku.”
“Sya kamu dengarkan ucapan kedua orang tua kamu. Ini semuakan yang kamu harapkan dan bayangkan dari dulu. Kamu bangun ya Sya, kami semua sayang dengan kamu.”
Tiba-tiba Sasya pun membuka matanya dan melihat ketiga orang yang disayangi berada di sampingnya dengan meneteskan air mata.
“Mama, papa, Raffi.” ucap Sasya lirih.
Mereka kaget mendengar suara asya, begitu mengetahui anaknya telah sadar, orang tua Sasya pun memeluk Sasya dengan sangat erat.
“Maafkan kami ya anakku sayang.”
Sasya pun hanya tersenyum dan berkata, “Akhirnya Sasya diperhatikan juga dengan mama dan papa meski dengan keadaan seperti ini”.
“Kamu jangan bilang begitu nak, kami janji akan menuruti semua permintaan Sasya asalkan Sasya bisa kuat dan berjuang untuk sembuh,” ucap orang tua Sasya.
“Ma, pa Aku ingin kalian janji, meski nanti Sasya ada maupun tiada, mama dan papa mau dan bisa berubah perilakunya menjadi lebih baik.”
“Sasya kamu jangan bilang begitu, kami janji akan merubahnya demi Sasya.”
“Saya senang mendengarkannya, oh iya satu lagi mama dan papa yang rukun ya selama Sasya tidak ada. Sasya akan selalu mengawasi mama dan papa lho.” ucap Sasya semakin lirih sambil tersenyum.
“Kamu jangan bilang begitu nak, kami pasti selamat dan bisa berkumpul dengan kami.”
Sasya hanya tersenyum mendengar ucapan orang tuanya, kemudian Sasya menatap wajah Raffi sambil tetap tersenyum dan berkata, “Raff, ternyata kamu benar”.
“Benar apa ?” tanya Raffi penasaran.
“Hidup memang tak selamanya itu indah. Ini mungkin ujian untuk aku dan di balik semua ini pasti ada hikmahnya sendiri”.
“Iya Sya, kamu benar.”
Tiba-tiba kondisi Sasya pun semakin melemah dan tak kuat untuk bicara. Papa Sasya pun berteriak memanggil dokter, namun Sasya melarangnya dan hanya berkata.
“Terima kasih, Mama, Papa, Raffi, aku sayang kalian”.
Tut ………………..
Setelah mengucapkan kalimat tadi, alat pengukur detak jantung yang di pasang di tubuh Sasya pun berbunyi dan menunjukkan garis lurus pada layarnya. Orang tua Sasya dan Raffi pun diminta untuk menunggu di luar IGD. Beberapa menit dokter berada di dalam ruang IGD, akhirnya keluar dengan wajah kecewa dan sedih.
“Bagaimana dok ? Anak saya baik-baik saja kan ?”
“Maaf pak, buk. Sebaiknya kita harus sabar menghadapi ini semua. Kami sudah melakukan usaha yang sebaik mungkin, namun anak bapak dan ibu telah tiada, dia telah dipanggil oleh Sang Pencipta.”
Mendengar ucapan dokter tersebut, orang tua Sasya pun sedih dan menangis hingga menjadi-jadi, namun hal tersebut harus dihadapi dengan sabar, begitulah yang diminta oleh Sasya tadi. Raffi pun hanya bisa menghela nafas. Nyatanya Sasya telah tiada dan hanya ada penyesalan dari orang tuanya karena telah menyia-nyiakan anak sebaik Sasya. Raffi yang tidak kuat melihat kesedihan orang tua Sasya pun pergi keluar rumah sakit, dia menangis sendiri sambil menatap langit.
“Selamat tinggal, selamat jalan Sasya”, ucap Raffi
“Selamat tinggal Raffi, aku akan menunggumu di Surga,” suara angina yang terdengar di telinga Raffi.
Mendengarnya, Raffi pun tersenyum.
*** Tamat***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar